Beberapa Peristiwa Penting Dalam Proses Perumusan Pancasila
Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara merupakan puncak dari perjuangan dan cita-cita bersama menuju Indonesia merdeka. Kita tahu, bahwa perjalanan perjuangan dan cita-cita bersama tersebut telah dirintis oleh para tokoh pemuda sejak mereka mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Perjalanan perjuangan dan cita-cita bersama menuju Indonesia merdeka tersebut juga harus dibayar dengan berbagai pengorbanan yang tidak sedikit, baik itu jiwa, harta, maupun tenaga dan pikiran.
Kini, wujud nyata dari perjuangan dan cita-cita bersama tadi sudah ada di depan mata. Kesempatan untuk membentuk kebangsaan negara Indonesia yang merdeka, tinggal menunggu waktu. Sejumlah toko dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia sedang duduk bersama-sama di meja persidangan untuk membicarakan masalah dasar negara yang dapat diterima oleh rakyat Indonesia dari segala lapisan. Mereka mencari kesepahaman tentang rumusan dasar negara.
Namun demikian, merumuskan dasar-dasar negara yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, ternyata harus melalui proses yang berliku- liku. Ada golongan yang setuju dan tidak setuju tentang suatu pendapat. Mereka saling beradu juga berselisih pandangan. Maka, ada pendapat-pendapat yang diterima, ada pula yang tidak diterima. Bahkan ada yang harus diambil jalan tengah. Pendeknya, banyak peristiwa penting yang muncul mengiringi proses mencari kesepahaman tentang rumusan dasar negara itu.
Bagaimana liku-liku dan proses mencari kesepahaman tentang rumusan dasar negara tersebut? Paling tidak uraiannya adalah sebagai berikut.
1. Rumusan Pancasila Hasil Sidang Panitia Sembilan
Sesudah pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945, sidang pertama BPUPKI berakhir. Ketika itu ketua BPUPKI juga membentuk Panitia Kecil yang perjalanan selanjutnya biasa dikenal sebagai Panitia Sembilan.
Dalam Panitia Sembilan ini terdapat dua golongan yang saling berbeda pandangan. Yang pertama adalah golongan yang menghendaki Islam mendasari pendirian negara. Golongan yang kedua, menghendaki paham kebangsaan sebagai dasar pendirian negara. Jalan tengah yang diambil dalam perbedaan pandangan tersebut adalah rumusan Pancasila yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Adakah keberatan yang muncul atas hasil kerja Panitia Sembilan itu? Jelas! Dalam beberapa kesempatan, keberatan itu beberapa kali muncul. Sebagai contoh, Ki Bagus Hadikusumo, Wongsonegoro, Latuharhary, dan Husen Joyodiningrat. Mereka mengajukan usulan agar rumusan sila “Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta diganti.
Namun demikian, Sukarno sebagai ketua Panitia Sembilan pada waktu itu mengatakan, bahwa Piagam Jakarta merupakan jalan tengah yang sudah disepakati oleh dua golongan yang saling berbeda pandangan. Artinya, jika keberatan-keberatan tersebut diterima, kesepakatan yang sudah dicapai sebagai jalan tengah menjadi masalah baru. Dengan kata lain, Sukarno tidak ingin menodai kesepakatan yang telah dicapai sebagai jalan tengah yang telah diambil tersebut.
Gambar: Lafaz Pancasila
Fakta: Yang sebaiknya anda Tahu
Rancangan Preambul Hukum Dasar Persembahan dari Panitia Kecil
Sukarno memang memberi laporan pada hari pertama sidang BPUPKI ke dua (tanggal 10 Juli 1945). Laporan tersebut adalah tentang sidang Panitia Sembilan yang telah menghasilkan rumusan dasar negara. Rumusan tersebut dicantumkan dalam suatu rancangan preambul atau pembukaan hukum dasar yang selanjutnya dipersembahkan oleh Panitia Kecil kepada sidang BPUPKI. Bunyi selengkapnya pembukaan hukum dasar yang memuat rumusan dasar negara (Pancasila) tersebut selengkapnya adalah:Pemboekaan.Bahwa sesungguhnya kemerde-kaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.Dan Perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat jang bahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia jang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasarkan kepada : ke-Tuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawa- ratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Sumber : Muhammad Yamin, dikutip dari PJ Suwarno, 1993)
2. Utusan Pembawa Pesan dari Wakil-wakil Indonesia Bagian Timur
Sore hari setelah kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan, Moh. Hatta menerima telepon dari Nisyijima (pembantu Laksamana Mayda/AL Jepang). Telepon tersebut memberitahukan bahwa ada seorang opsir yang ingin menyampaikan pesan berkaitan dengan Indonesia merdeka.
Isi pesannya menyatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dari daerah- daerah yang dikuasai AL. Jepang keberatan dengan rumusan sila pertama (Piagam Jakarta) : “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya.” Utusan tersebut juga menyampaikan bahwa bunyi rumusan sila pertama tersebut membedakan sekaligus tidak mengikat keberadaan mereka (umat Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia bagian timur).
Oleh karena itu, keesokan hari tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wakhid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Hassan untuk mengadakan rapat pendahuluan. Mereka membicarakan pesan yang menyatakan tentang keberatan terhadap rumusan Pancasila Piagam Jakarta. Hasilnya mereka sepakat, bahwa Indonesia tidak boleh pecah. Akhirnya, kesepakatan akhir dari pembicaraan mereka adalah sila pertama (dalam rumusan Piagam Jakarta) diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.